Perang Dagang AS-China : Antara Dominasi Ekonomi dan Nasib Umat Islam
Oleh : Selvi Sri Wahyuni M.Pd
Di balik gegap gempita berita perang dagang antara Amerika Serikat dan China, ada narasi besar yang sering tak terbaca oleh mayoritas umat: siapa yang sebenarnya diuntungkan? Dan bagaimana dampaknya bagi umat Islam yang mayoritas berada di negeri-negeri berkembang yang rawan krisis?
Latar Belakang: Dominasi Dua Kekuatan Dunia
Perang dagang ini bermula secara terang-terangan sejak 2018 saat Presiden AS Donald Trump mulai memberlakukan tarif impor tinggi terhadap barang-barang dari China senilai ratusan miliar dolar, dengan dalih "melindungi industri dalam negeri." Sebagai balasan, China juga menaikkan tarif atas produk-produk AS.
Namun, latar belakang sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar tarif: ini adalah perebutan dominasi global antara dua raksasa ekonomi. AS yang selama ini memimpin dunia dari segi militer dan ekonomi mulai merasa terancam oleh bangkitnya China melalui proyek ambisius "Belt and Road Initiative" yang menjalin koneksi dagang lintas benua. Menurut data World Bank, pada 2022 China telah menjadi mitra dagang utama bagi lebih dari 120 negara di dunia.
Konspirasi Terselubung: Pertarungan Hegemoni Sistem Kapitalis
Ini bukan sekadar perang tarif, ini adalah perang ideologi dan pengaruh. AS mewakili model kapitalisme liberal dengan dominasi dolar, sementara China tampil sebagai kekuatan otoriter kapitalis yang menantang tatanan lama. Dalam pertarungan ini, umat Islam bukan pemain, tetapi korban dampak sistemik.
Menurut ekonom Joseph Stiglitz, "perang dagang tidak hanya merugikan kedua negara, tapi menciptakan ketidakpastian global yang menghantam negara-negara miskin dan berkembang lebih dulu."
Menurut IMF, hingga tahun 2023 perang dagang telah menyebabkan potensi kehilangan pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5% dan menyumbang pada tekanan inflasi global, memperparah ketimpangan antar negara.
Dampak Nyata bagi Dunia Islam
1. Krisis Ekonomi di Negara Muslim
Negara-negara seperti Pakistan, Mesir, dan Turki sangat tergantung pada ekspor dan impor dari dua raksasa ini. Ketika perang dagang memicu resesi global, nilai tukar melemah, harga barang naik, dan utang luar negeri membengkak.
Misalnya, Pakistan yang bergantung pada pinjaman dari IMF dan investasi dari China (dalam koridor CPEC) terjebak dalam ketergantungan ekonomi ganda: di satu sisi ditekan oleh utang, di sisi lain rentan terhadap tekanan politik luar negeri.
Di Afrika, proyek infrastruktur China kerap membebani negara Muslim seperti Djibouti dan Sudan dengan utang besar, memicu ketergantungan jangka panjang.
2. Ketidakstabilan Politik dan Sosial
Ketika ekonomi goyah, rezim-rezim boneka di dunia Islam semakin represif terhadap rakyatnya. Demonstrasi dijawab dengan penindasan. Semua ini menciptakan kondisi sosial-politik yang subur untuk kekacauan, menjauhkan umat dari perjuangan Islam sejati.
Ilustrasi nyata adalah Lebanon yang menghadapi krisis ekonomi dan politik simultan, yang diperparah oleh ketidakpastian global dan ketergantungan pada kekuatan besar.
3. Eksploitasi Sumber Daya Alam
Di balik investasi China di Afrika dan Timur Tengah, banyak terjadi perampasan lahan dan eksploitasi tanpa transfer teknologi. Negara-negara Muslim menjadi pasar dan penyedia bahan mentah, bukan pusat kekuatan.
Data dari Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebutkan bahwa lebih dari 60% dari investasi BRI berada di sektor energi dan infrastruktur, namun mayoritas proyek dikelola oleh perusahaan China tanpa keterlibatan aktif negara lokal.
Solusi Islam: Kembalikan Kedaulatan Umat dengan Khilafah
Islam tidak memandang dunia sebagai medan perebutan kekuasaan material, tetapi sebagai ladang dakwah dan keadilan. Dalam sistem Islam, perdagangan antarbangsa didasari pada keadilan dan saling menguntungkan, bukan eksploitasi.
Allah SWT berfirman:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
"Dan janganlah kamu menyerahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan." (QS. An-Nisa: 5)
Jual beli dalam Islam bukan untuk memperkaya satu pihak dan memiskinkan yang lain. Negara dalam Islam (Khilafah) berdiri sebagai penjaga kemandirian ekonomi umat:
• Menolak dominasi mata uang asing dengan menggunakan dinar-dirham.
• Menolak utang luar negeri berbunga.
• Mengelola sumber daya alam sebagai milik umum, bukan diserahkan ke asing.
• Membangun industri strategis berbasis ilmu pengetahuan, bukan ketergantungan.
Khilafah akan membangun perdagangan luar negeri berdasarkan prinsip siyasah syar’iyyah, yakni mempertimbangkan maslahat umat, bukan sekadar angka ekspor-impor.
Penutup: Saatnya Umat Sadar dan Bersatu
Perang dagang ini hanyalah salah satu babak dari konflik besar sistem kapitalisme yang saling memakan. Kita tidak bisa berharap dari AS maupun China, karena keduanya menjadikan umat Islam sebagai objek eksploitasi.
Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Imran Hosein, "Tidak ada tempat yang netral dalam tatanan dunia saat ini. Umat Islam harus bangkit, membebaskan diri dari ketergantungan sistem riba dan kapitalis, serta membangun kembali peradaban Islam."
Saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi bukan sekadar reformasi ekonomi nasional, tetapi perubahan sistemik: membangun kekuatan politik Islam yang mandiri dan menyatukan potensi umat dalam satu kepemimpinan. Karena hanya Islam yang mampu menciptakan keadilan sejati, bukan hanya bagi kaum Muslimin, tetapi bagi seluruh umat manusia.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar