-->

Potret Buram Dunia Akademik Dalam Sistem Sekularisme


Oleh : Sumayyah Mumtaza

Realita pahit mewarnai dunia akademik di Indonesia. Alih-alih menjadi tempat yang aman dan menjunjung tinggi moral, institusi pendidikan tinggi justru menyimpan luka mendalam bagi sebagian mahasiswinya. Baru-baru ini, Universitas Gadjah Mada (UGM), salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, menggemparkan publik dengan kasus pemecatan seorang guru besar Fakultas Farmasi berinisial EM. EM terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah mahasiswi. Kasus ini terungkap setelah adanya laporan ke pihak Fakultas Farmasi pada bulan Juli 2024. (kompas.com, 06/04/2025).

Menanggapi hal tersebut, pihak UGM bergerak cepat dengan melakukan penyelidikan, memeriksa saksi-saksi dan terlapor. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa EM melanggar Pasal 3 ayat (2) Huruf I Peraturan Rektor UGM No 1 Tahun 2023 serta kode etik dosen. Sebagai tindak lanjut, UGM menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. EM juga telah dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Ketua Cencer Chemoprevention Research Center Fakultas Farmasi.

Kasus di UGM ini hanyalah satu dari sekian banyak fenomena gunung es terkait kejahatan seksual di Indonesia. Dilansir dari laman paudpedia.kemdikbud.go.id, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) pada tahun 2023 menunjukkan terjadi lebih dari 15.000 kasus kekerasan seksual. Dimana korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak. Ironisnya, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban merasa takut, malu, atau diintimidasi. Fakta ini menunjukkan bahwa masalah kejahatan seksual di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan merambah ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk institusi pendidikan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pembentukan karakter dan moral bangsa.

Kasus Pelecehan Seksual dari Sudut Pandang Islam

Dari sudut pandang Islam, tindakan pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum guru besar UGM merupakan dosa besar dan tindakan yang melanggar kesucian dan kehormatan seseorang. Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk tindakan yang mengarah pada perzinahan dan eksploitasi seksual. Perilaku pelaku mencerminkan degradasi moral dan hilangnya rasa malu, yang sayangnya, sebagaimana disebutkan dalam sumber, menjadi salah satu dampak maraknya kejahatan seksual di tengah masyarakat.

Aturan Islam mengajarkan pentingnya menjaga pandangan (ghadul bashar) baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hal ini merupakan langkah preventif untuk menghindari dorongan syahwat yang dapat menjerumuskan pada perbuatan tercela. Selain itu, Islam juga melarang aktivitas campur baur (ikhtilat) antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram kecuali dalam perkara yang dibolehkan syariat, seperti pendidikan, kesehatan, jual beli dengan tetap menjaga adab dan batasan.

Tindakan pelecehan seksual dalam bentuk apapun, termasuk di lingkungan akademik telah merusak kehormatan dan menimbulkan trauma fisik serta psikologis yang mendalam bagi korban. Dimana korban sering kali mengalami depresi, kecemasan, bahkan post-traumatic stress disorder (PTSD).
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga kehormatan setiap individu dan memberikan perlindungan terhadap segala bentuk kezaliman. Perbuatan pelaku tidak hanya mencoreng nama baik institusi pendidikan, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan ajaran Islam.

Maraknya kasus kejahatan seksual di Indonesia, termasuk yang terjadi di lingkungan pendidikan seperti yang terjadi di UGM, dapat dianalisis bahwa hal ini terjadi karena sistem sekuler yang membebaskan pergaulan bebas, pornografi, maupun prostitusi. Meskipun berbagai kebijakan dan hukum telah disahkan, namun implementasinya terbukti tidak efektif untuk menekan angka kejahatan seksual. Ditambah, pengaruh budaya Barat dan liberalisme yang menormalisasi adanya pergaulan bebas dan mempromosikan LGBT melalui berbagai media, juga menjadi faktor pemicu.

Solusi Islam untuk Memberantas Kejahatan Seksual

Islam memiliki sistem aturan yang komprehensif dalam mencegah dan menindak pelaku kejahatan seksual. Solusi dalam sistem Islam tidak hanya bersifat represif (hukuman), tetapi juga preventif (pencegahan). Upaya pencegahan (preventif) dalam penegakan syariat Islam terkait interaksi pergaulan, menerapkan aturan kewajiban menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan, menjaga pandangan (ghadul bashar), dan menghindari ikhtilat yang tidak dibenarkan syariat. Interaksi antara mahasiswa dan dosen harus dilakukan secara profesional dan sesuai kebutuhan akademik, sehingga menghindari pertemuan atau komunikasi yang bersifat pribadi dan menimbulkan fitnah.

Disamping itu, Islam melarang aktivitas pacaran dan hubungan di luar nikah. Kampus sebagai lembaga pendidikan harus memiliki kebijakan yang jelas dalam melarang segala bentuk hubungan di luar pernikahan. Adanya sosialisasi terkait bahaya pergaulan bebas dan pentingnya menjaga kesucian diri sesuai ajaran Islam harus terus digalakkan.

Penanaman nilai-nilai moral dan etika Islam sejak dini akan membentuk karakter mahasiswa yang memiliki kesadaran akan batasan-batasan dalam bergaul dan menjauhi perbuatan yang dilarang agama. Pendidikan agama yang kuat akan membentengi mahasiswa dari perilaku menyimpang dan kejahatan seksual.

Upaya penindakan (Represif). Meskipun pencegahan adalah prioritas, Islam juga memiliki hukuman yang tegas bagi pelaku kejahatan seksual sebagai bentuk keadilan dan efek jera. Perlu adanya penegakan hukum yang lebih serius dan hukuman yang lebih berat bagi pelaku kejahatan seksual, termasuk yang terjadi di lingkungan akademik. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam Islam yang menekankan kerasnya hukuman untuk menindak kejahatan seksual agar tidak terjadi pengulangan.

Mengacu pada sistem hukum Islam, hukuman bagi pelaku kejahatan seksual sangatlah berat. Sebagai contoh: pemerkosaan dan pelecehan seksual; jika pelaku sudah menikah, hukumannya adalah rajam sampai mati. Jika belum menikah, hukumannya adalah cambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Hukuman perzinaan sama seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual, ditetapkan berdasarkan status pernikahan pelaku. Sementara, terkait LGBT, pelaku homoseksual dan transgender dihukum mati.

Dari sini bisa disimpulkan, kasus pelecehan seksual di perguruan tinggi menjadi bukti nyata bahwa luka di balik dunia akademik itu ada. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya secara komprehensif dari seluruh elemen masyarakat, baik pihak kampus, pemerintah, maupun tokoh agama. Solusi yang ditawarkan Islam, baik dari segi pencegahan sampai penindakan dapat menjadi panduan berharga dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, bermoral, dan menjunjung tinggi kehormatan setiap individu. Mengembalikan nilai-nilai agama dan moral yang kuat adalah kunci untuk memberantas kejahatan seksual dan mewujudkan masyarakat yang lebih baik.