-->

Solusi Kriminalitas Bukan pada Remisi, Tapi Sistem Ilahi


Oleh : Novi Ummu Mafa

Belum reda sorotan publik atas pemberian remisi kepada pelaku korupsi dan kejahatan narkotika, kini pemerintah kembali memberi “kado kebebasan” kepada ribuan narapidana dalam rangka Hari Raya agama. Data dari Ditjen Pemasyarakatan menunjukkan bahwa lebih dari 150 ribu narapidana menerima remisi Idulfitri tahun ini, termasuk ratusan narapidana kasus korupsi dan narkoba. (tempo.co, 31-03-2025).

Alih-alih menciptakan efek jera, remisi justru mempertegas lemahnya sistem peradilan dalam negara yang berasaskan sekularisme kapitalisme. Hukum tidak lagi menjadi instrumen keadilan, melainkan menjadi alat transaksional untuk mengelola “kelebihan kapasitas” lapas dan “penghematan anggaran”.

Negara Longgar, Kriminalitas Subur

Pemberian remisi kepada pelaku kejahatan kelas berat seperti koruptor dan bandar narkoba menunjukkan betapa lunaknya sistem hukum saat ini. Narapidana seperti Setya Novanto terus menerima pengurangan masa tahanan, meski terbukti merugikan negara triliunan rupiah. Di sisi lain, penjara justru menjadi tempat “rehat mewah” bagi para pelaku kejahatan kelas kakap, lengkap dengan fasilitas eksklusif yang mengundang rasa keadilan publik.

Situasi ini tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap sistem hukum. Ketika hukuman dapat “dibeli” atau dikurangi dengan alasan administratif dan HAM, maka hilanglah fungsi hukum sebagai penjera dan pelindung masyarakat.

Kapitalisme, Akar Lemahnya Hukum

Pemberian remisi tidak dapat dilepaskan dari paradigma sistem kapitalisme sekuler yang melandasi negara hari ini. Dalam sistem ini, hukum tidak berdiri atas dasar wahyu Ilahi yang absolut, melainkan dihasilkan dari akal manusia yang lemah dan penuh kepentingan. Maka wajar, ketika keadilan berubah menjadi kepentingan politis dan ekonomis.

Penegakan hukum dalam sistem sekuler ini tunduk pada prinsip HAM yang memanusiakan pelaku kriminal, tetapi menistakan hak masyarakat atas rasa aman. Penjahat dianggap manusia yang perlu “diperbaiki”, tetapi korban justru dibiarkan mengubur trauma seumur hidup dan kehilangan. Realitas ini adalah bukti nyata bahwa sistem sekuler gagal menciptakan tatanan sosial yang adil dan aman.

Bahkan tak jarang alasan “overcrowding” di lapas menjadi legitimasi kebijakan remisi, seolah hukum dapat dikompromikan demi efisiensi anggaran. Tidakkah lebih logis jika negara serius memberantas akar kejahatan, bukan justru mempermudah keluarnya pelaku kejahatan dari balik jeruji besi.

Pendidikan Rusak, Ekonomi Tercekik, Media Tak Bermoral

Masalah kriminalitas tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil dari kegagalan sistem dalam mengatur berbagai sektor kehidupan. Dalam sistem kapitalisme, pendidikan sekuler menghasilkan individu yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama. Mereka tumbuh menjadi pribadi permisif yang mengejar kesenangan duniawi tanpa memperdulikan batas halal-haram.

Di sisi lain, krisis ekonomi yang menghimpit rakyat menyebabkan tingginya angka kejahatan. Ketika negara tak mampu menjamin lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan dasar, maka rakyat terdorong untuk mengambil jalan pintas, termasuk kejahatan.

Media pun tidak berperan sebagai penjaga moral masyarakat. Justru media menjadi corong kapitalisme yang menyebar nilai-nilai liberal, pornografi, kekerasan, dan gaya hidup hedonis yang mendorong kriminalitas. Semua ini berpangkal pada satu akar yakni karena diterapkannya sistem kapitalisme sekuler yang menjauhkan manusia dari tuntunan Allah Swt.

Islam: Sistem Ilahiah Penjamin Keamanan

Berbeda dengan sistem sekuler, sistem Islam memiliki sistem sanksi (uqubat) yang bersumber dari wahyu dan diterapkan oleh negara. Sanksi dalam Islam bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus dosa). Ketika seorang pelaku kriminal dihukum secara syar’i, maka hukumannya menggugurkan azab di akhirat dan menjadi peringatan keras bagi masyarakat.

Islam tidak mengenal konsep remisi seperti dalam sistem saat ini. Hukuman dalam Islam dilaksanakan tanpa kompromi dan campur tangan politik. Seorang pembunuh dihukum qisas, seorang pencuri dipotong tangannya, dan pezina jika (muhshan) sudah menikah maka harus dirajam hingga mati. Sanksi-sanksi ini bukanlah kekejaman, tetapi bentuk kasih sayang Allah agar masyarakat tidak terjerumus dalam kemaksiatan dan kerusakan.

Lebih dari itu, Islam juga menyediakan sistem preventif. Sistem Islam dalam naungan Khilafah akan memastikan kesejahteraan rakyat, pendidikan berbasis akidah, serta media yang menjaga suasana keimanan. Dengan demikian, kejahatan dapat dicegah sejak dari akarnya.

Khatimah

Masalah kriminalitas tidak akan pernah selesai jika akar permasalahannya tidak dicabut. Selama sistem kapitalisme masih bercokol, maka kejahatan akan terus tumbuh, dan hukum akan terus dikangkangi demi kepentingan segelintir elit. Remisi hanyalah tambal sulam yang mempertegas kegagalan negara dalam menciptakan keadilan dan keamanan.

Sudah saatnya umat menyadari bahwa hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafah yang mampu menegakkan keadilan secara paripurna. Bukan dengan kompromi hukum, tapi dengan penegakan syariat secara kaffah. Inilah sistem yang menjamin keamanan dan ketenteraman hidup umat, sebagaimana pernah terwujud dalam sejarah Islam selama lebih dari 13 abad.

Wallahu a’lam bish-shawab.