-->

Tangisan Anak Gaza Akan Menjadi Saksi, Saat Umat Ini Memilih Diam

Oleh : Henise

Di balik tumpukan puing dan reruntuhan bangunan di Gaza, ada suara yang seharusnya menggetarkan hati setiap Muslim. Tangisan anak-anak yang kehilangan orang tua, rumah, bahkan masa depan. Mereka bukan hanya korban senjata dan rudal, tapi juga korban dari diamnya dunia, terutama diamnya umat Islam yang seharusnya menjadi pelindung mereka.
Setiap jerit mereka adalah panggilan. Setiap air mata mereka adalah seruan. Dan jika kita tak menjawabnya hari ini, niscaya mereka akan berdiri sebagai saksi di hadapan Allah, menuntut: “Mengapa kalian membiarkan kami dibantai?”

Gaza, Potret Paling Pedih dari Tubuh Umat

Gaza adalah luka terbuka yang terus menganga di tengah tubuh umat Islam. Di sana, kehidupan dijalani di bawah bayang-bayang kematian. Setiap hari, anak-anak berlarian bukan menuju taman bermain, tapi menuju tempat perlindungan dari bom. Mereka belajar di sekolah yang dikepung ketakutan. Mereka tidur dengan suara dentuman yang bisa datang kapan saja.

Namun apa yang dilakukan dunia Muslim? Negara-negara yang mayoritas rakyatnya Muslim masih sibuk dengan urusan politik lokal, dengan ekonomi kapitalistik, dengan pesta demokrasi yang tak pernah membawa kebaikan hakiki. Gaza seperti tak ada dalam agenda strategis mereka.
Jika dulu Khalifah Harun al-Rasyid pernah menggetarkan Romawi hanya dengan satu ancaman, hari ini para pemimpin Muslim tak mampu mengangkat suara, apalagi mengangkat senjata untuk membela anak-anak Gaza.

Mereka Anak Kita, Bukan Hanya Milik Palestina

Ukhuwah Islamiyah bukan slogan. Ia adalah ikatan akidah yang menjadikan setiap Muslim sebagai saudara. Saat seorang anak Gaza menangis karena kehilangan orang tuanya, sejatinya yang menangis itu adalah darah daging kita juga. Mereka bukan "orang lain" yang sedang tertimpa musibah. Mereka adalah bagian dari keluarga besar kita, umat Muhammad SAW.

Sayangnya, sistem sekuler kapitalistik telah merusak cara pandang kita. Ia memisahkan kita dengan batas-batas negara buatan. Ia membuat kita merasa bahwa penderitaan di Palestina adalah urusan "negara lain", bukan urusan kita. Padahal Islam mengajarkan bahwa satu tubuh umat ini harus merasakan sakit jika satu bagian tubuh tersakiti.

Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakannya dengan tidak bisa tidur dan merasa demam." (HR. Bukhari dan Muslim)

Diamnya Umat Adalah Dosa Kolektif

Ketika umat Islam tidak menuntut pemimpinnya untuk membela Gaza, itu adalah bentuk kelalaian. Ketika para penguasa Muslim lebih sibuk menjaga hubungan diplomatik dengan penjajah Zionis daripada membela umat yang ditindas, itu adalah pengkhianatan. Dan saat rakyat Muslim lebih antusias menyambut konser musik daripada aksi solidaritas nyata untuk Gaza, itu adalah kemunduran.

Islam tidak mengajarkan kita untuk hanya menangis di media sosial atau menyebar doa tanpa tindakan. Islam mewajibkan kita untuk membela sesama Muslim yang tertindas dengan kekuatan politik dan militer, bukan sekadar bantuan makanan.

Allah SWT berfirman:
“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu'.” (QS. An-Nisa: 75)

Ayat ini adalah seruan jihad untuk membebaskan kaum tertindas. Dan di zaman ini, jihad yang hakiki membutuhkan institusi negara Islam, yakni Khilafah, sebagai pengatur dan penggeraknya.

Khilafah: Satu-satunya Harapan Nyata untuk Gaza

Gaza tidak membutuhkan air mata. Gaza membutuhkan pasukan. Gaza membutuhkan negara yang bersedia mengusir penjajah dengan kekuatan, bukan lobi diplomatik palsu. Dan itu tidak mungkin dilakukan oleh negara-negara Muslim saat ini yang terikat perjanjian internasional dan tunduk pada aturan kapitalisme global.

Hanya Khilafah Islamiyah—negara yang menerapkan syariah Islam secara kaffah dan memimpin umat dengan akidah Islam—yang akan mengangkat pedang demi membela kehormatan umat. Dalam sejarahnya, Khilafah selalu menjadi pelindung bagi kaum Muslimin, dan bahkan melindungi non-Muslim yang hidup di bawah naungannya.

Ketika Khilafah berdiri kembali, pembebasan Gaza bukan lagi sekadar mimpi. Itu akan menjadi prioritas. Itu akan menjadi harga mati.

Anak-Anak Gaza Akan Menjadi Saksi

Di akhirat nanti, anak-anak Gaza tidak akan tinggal diam. Mereka akan berdiri di hadapan Allah dan berkata: “Ya Rabb, mereka tahu kami dibantai, tapi mereka tidak bertindak.” Dan saat itu, tak ada lagi alasan yang bisa kita ajukan. Tak ada lagi postingan belas kasih yang bisa dijadikan bukti. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa kita diam saat darah Muslim ditumpahkan.

Penutup: Waktunya Bangkit, Bukan Berduka

Hari ini, kita masih punya waktu. Waktu untuk sadar, bertobat, dan bergerak. Gaza adalah ujian keimanan kita. Ia adalah panggilan jihad bagi seluruh umat. Mari jangan lagi hanya menjadi saksi penderitaan. Jadilah bagian dari solusi. Berjuanglah untuk menegakkan kembali Islam sebagai sistem kehidupan—yang akan membebaskan Gaza dan seluruh umat dari belenggu penjajahan.

Tangisan anak-anak Gaza harus menjadi alarm nurani kita. Jangan tunggu mereka menuntut kita di akhirat kelak.